MINING BITCOIN

Hasilkan Uang Dari Short Link

Cerpen Islami Romantis Cinta Dan Ijab Kabul - Dipaksa Menikah Berakhir Bahagia

Cerpen Islami Romantis Cinta dan Pernikahan. Jodoh memang ditangan Allah SWT. Namun ketika jalan dalam menggapainya begitu berliku dan penuh cobaan, akankah berhenti untuk berikhtiar dan putus dalam berdoa? Apalagi harus dipaksa untuk menikah. Jangan ya Sobat. Wanita yang baik akan bertemu dengan lelaki yang baik. Tetap berusaha untuk memperbaiki diri dan hanya berharap kepada Ridho-Nya semoga suatu hari kelak bertemu dengan pasangan hidupmu. Cerpen Islami perihal cinta dan ijab kabul romantis berikut ini mudah-mudahan sanggup memberimu pandangan mengenai kuasa Ilahi dalam hal jodoh. Jangan lupa untuk melihat Cara hasilkan bitcoin gratis
Cerpen Islami Romantis Cinta dan Pernikahan CERPEN ISLAMI Romantis Cinta dan Pernikahan - Dipaksa Menikah Berakhir Bahagia
Cerpen Islami Cinta Romantis dan Pernikahan | image: facebook
Ahli Sedot wc Kota Pontianak

Seminggu lagi, saya akan menikah, tetapi hari ini saya masih di sini, kota besar, sendiri memikirkan nasib. Tidak ada uang, tidak ada mobil, tidak ada pekerjaan, tidak ada apa-apa selain, handphone murah, dan oh... handphoneku ini juga tak ada pulsanya.

Sewa kontrakan pun belum saya bayar, tetapi saya akan menikah seminggu lagi. Acaranya sederhana, menikah dengan gadis kampung sebelah, di rumah keluarga gadis itu, dan saya juga tidak kenal siapa gadis itu. Orang tuaku yang mengaturnya, dan saya masih berpikir, mengapa orang renta gadis itu mau menikahkan anaknya dengan seorang pria mirip aku.

Aku lelaki yang apabila ditanya apa kerjanya, saya tidak tahu bagaimana harus menjawab. Aku memang bekerja, tetapi hanya kerja sambilan di hotel, membantu kawan-kawan yang berjualan online di internet, dan sesekali mengikuti seminar MLM. Kebanyakan waktu dihabiskan duduk-duduk di kontrakan, menatap surat kabar untuk mencari kerja.

Lalu, atas atas dasar apa ayah dan ibu gadis itu, mau menikahkan anaknya denganku, dan hantaran kawinnya, cuma senaskah Al Quran, dan mas kawin cuma Rp250.000. Lebih mengherankan, semua biaya program ditanggung oleh keluarga si gadis.

Kenapa? Aku semakin tidak mengerti, kok mau orang renta gadis itu, mengawinkan saya dengan anak perempuannya yang cantik, yang berkerudung rapi. Ya, saya sudah melihat fotonya, dan lantaran kecantikannya, saya walaupun dengan semua keheranan itu, oke juga dengan ijab kabul yang diatur oleh keluarga ini. Ditambah, wanita itu lulusan universitas luar negeri, berkerja sebagai pegawai negeri yang gajinya, cukup untuk membayar angsuran kendaraan beroda empat BMW.

Pada mulanya, saya pikir saya menyerupai tikus yang jatuh ke dalam gudang beras, tapi ketika program semakin dekat, saya mulai berpikir, mungkin ada yang disembunyikan oleh keluarga si gadis. Apakah foto yang diberi sama dengan wajah orisinil wanita itu? Apakah wanita itu sesungguhnya janda? Atau yang paling menakutkan, jangan-jangan wanita itu sedang mengandung anak orang lain, dan saya menjadi 'ayah' untuk anak itu.
Dari sinilah kisahku dimulai.

***

Tengah hari itu saya nekat pulang ke kampung halaman. Aku nekat, mencari tahu latar belakang calon istriku, dan mengapa ibu bapaknya, mau melepaskan anaknya kepada pria mirip aku. Cuma, saya tidak tahu bagaimana cara untuk mencari tahu. Selama di dalam bus, saya beruntung duduk di sebelah seorang pria yang ramah.

Kepada pria itu saya bertanya, “Bagaimana cara cari tahu latar belakang calon istri kita?”

“Mudah kok. Kalau dia ada FB, buka FB dia, atau cari saja nama lengkapnya di internet. Nanti ada lah informasi perihal dia. Kalau susah, pergi daerah kerjanya, tanya kawan-kawannya, atau tanya saudara-saudaranya.”

Untuk mencari tahu perihal calonku itu di internet, nama lengkapya saja saya tidak tahu. Aku cuma diberitahu, namanya Sarimah. Berapa banyak orang punya nama Sarimah di internet? Banyak! Lalu saya ambil pesan yang tersirat kedua dari pria itu, tanya rekan-rekan sekerjanya, dan mujur saya tahu gadis itu bekerja di kantor Bappenas.

Sampai di kampung, saya pinjam motor ayah, kemudian pergi ke kantor Bappenas. Aku tidak tahu apa jabatannya, tetapi kantor sebesar itu, niscaya banyak orang yang namanya sama. Tetapi agak tidak logis juga jika saya eksklusif masuk ke kantor dan bertanya perihal calon istriku. Lalu akhirnya saya ambil keputusan menunggu dan memperhatikan di seberang jalan.

Aku pikir, mungkin pada waktu makan tengah hari, Sarimah dan kawan-kawannya akan keluar, dan apabila sudah ingat wajah kawan-kawannya, sehabis pulang nanti boleh lah saya tanya perihal Sarimah. Itulah rencanaku, planning yang diatur dengan baik. Lalu saya pun duduk di atas motor menghadap kantor Bappenas yang cuma satu beberapa meter di depanku.

Kemudian tiba pula rasa menyesal, alasannya yakni pada jam 11 pagi, cuaca sudah terik. Di situ belum ada pohon yang rindang, lantaran semuanya gres saja dipangkas dahannya. Sudah panas terik, satpam di luar kantor mulai memperhatikanku. Bukan Cuma satpam, malah orang yang kemudian lalang di situ turut memperhatikan.

Aku lupa, jam kantor mirip itu, segala perbuatan yang tidak biasa akan jadi perhatian. Perbuatanku, yang duduk di depan kantor bukan kasus biasa. Nampak terlalu aneh.

Akhirnya, saya semakin menyesal lantaran dari jauh saya lihat seorang wanita keluar dari kantor. Semakin akrab wanita itu, semakin saya berdebar. Wajahnya semakin jelas, dengan kerudung kuning muda, dan baju kurung biru muda. Dia yakni calon istriku, yang Cuma saya kenal namanya. Sarimah. Hanya itu.

Aku sempat berpikir untuk menghidupkan motor dan kemudian pergi dari situ. Tetapi semuanya sudah terlambat, kemudian Sarimah berkata, “Kamu Salman?”

Aku menawarkan senyuman yang paling terpaksa pernah saya buat. Lebih terpaksa daripada senyum terpaksa apabila bertemu dengan guru semasa sekolah dahulu.

“Ya, saya. Kok kau bisa tahu?”

“Kawan di kantor yang beritahu, katanya ada pria di sebearang jalan. Mereka menggodaku, katanya mungkin saya kenal, dan saya pikir wajahmu sama dengan foto yang ditunjukkan oleh ibu.”

Satu kantor pun tahun saya menunggu disini?! Duh! Payah betul caraku mencari informasi ini. Kemudian saya memerhatikan wajah Sarimah, dan ternyata wajah aslinya jauh lebih bagus daripada wajah di foto. Mungkin lantaran itu pass foto. Orangtuanya pun hanya menawarkan satu foto. Entahlah, ibu dan ayahku pun mungkin menawarkan pass fotoku. Ketika itu juga saya merasa jantungku berdebar, lantaran ketika mengambil foto itu, saya gres saja bangkit tidur.

Aku perhatikan pula perutnya, tetapi tidak nampak ada gejala wanita mengandung. Saat saya memperhatikan, terasa tangannya menyilang menutupi perutnya, dan saya aib lantaran tertangkap berair memperhatikan perutnya. Pasti dia sadar jika saya memperhatikan perutnya, entah apa yang dia pikirkan sekarang.

Aku rasa, Sarimah ini yakni wanita yang berani. Berani untuk keluar berjumpa denganku. Kalau wanita lain, tentu mereka tidak berani. Barulah saya sadar, inilah pertemuan pertamaku dengan calon istri aku. Pertemuan dalam keadaan yang agak aneh.

Selepas pertanyaan itu, kami terdiam. Kami hanya berdiri di tepi jalan raya, sambil memandang ke arah yang sesungguhnya agak abnormal untuk dipandang. Aku memandang ke ujung jalan, dan Sarimah memandang ke arah motor ayahku.

Aku tahu, ini keadaan yang tidak betul dan saya sebagai pria perlu memperlihatkan teladan yang baik kepada calon istriku. Jadi, selepas puas berpikir dan memberanikan diri, saya berkata, “Sudah makan?”

“Saya sedang diet.”

Nasib baik bagiku dia bilang sedang diet. Bagaimana jika dia bilang, ayo kita makan, saya akan sangat jahat sekali, lantaran di dalam dompetku cuma ada uang dua puluh ribu rupiah. Mana cukup. Setelah itu, keadaan kembali sepi.

“Aku mau kembali ke kantor,” kata Sarimah sopan dan membuatku lega.

“Aku juga mau pulang,” balasku, dan ternyata, rasa legaku tidak berlangsung lama.

“Malam ini datanglah ke rumah.”

“Datang ke rumahmu?”

“Iya, makan malam dengan keluargaku.”

Aku terdiam. Berdebar-debar.

“Jemputlah sekalian ayah dan ibumu jika mereka tidak ada halangan.”

“Baiklah, selepas maghrib insya Allah saya sampai.”

***

Sepanjang perjalanan pulang, saya merasa tidak puas hati dengan diriku. Mengapa saya tiba-tiba menjadi kaku? Seharusnya, pada waktu itulah saya banyak bertanya dan mencari tahu kenapa dia dan keluarganya menentukan aku.

Cuma malam ini saya merasa sedikit bingung. Alamat rumah Sarimah, saya bisa tanya ayahku, tapi mungkinkah saya patut bawa ayah dan ibuku sekaligus? Tidak.. Tidak.... Bukannya saya tidak mau, biasanya jika ada ibu, habis semua rahasia anaknya dia ceritakan. Beliau senang sekali menceritakan rahasia anaknya.

Lagipula saya ada banyak rahasia yang tidak patut Sarimah dan orangtuanya tahu. Rahasia yang paling saya takuti dibocorkan oleh ibu yakni hampir setiap bulan saya masih meminta uang kepada ibuku. Memang memalukan, tetapi untuk pergi seorang diri, saya juga tidak berani.

Akhirnya, saya punya pandangan gres paling bagus. Aku melajukan motor ayah eksklusif ke rumah mitra lamaku, Rudy. Bukan sekedar mitra lama, tetapi juga sahabat karib. Aku yakin dia ada di rumah, lantaran dia juga senasib denganku, belum ada pekerjaan tetap. Bedanya, dia bertarung hidup di kampung, dan saya bertarung hidup di kota.

Sesampainya di rumah Rudy, saya lihat Rudy sedang duduk di tangga sambil bermain gitar. Itulah kemampuan Rudy yang sangat saya cemburui. Aku tidak berakal bermain gitar, bahkan tak tahu caranya.... oh... ada lagi rupanya kemahiran Rudy yang tidak saya miliki. Rudy berakal menarik hati gadis dengan bermain gitar, dan Rudy sangat berani berhadapan dengan perempuan, tidak mirip aku. Itulah akibatnya, saya tidak punya keyakinan apabila berhadapan dengan perempuan.

“Lama banget kau gak muncul,” kata Rudy ketika saya duduk di sebelahnya.

“Masa lama sih. Baru juga dua bulan lebih.”

“Lama itu.”

Aku diam, dan coba mendengarkan petikan gitar lagu rock terkenal, 'Suci Dalam Debu'. Aku coba menyusun kata untuk mengajaknya menemaniku malam ini, tetapi belum ada kata yang bagus.

“Aku dengar seminggu lagi kau mau nikah. Kok gak ngundang?” kata Rudy, dan itu secara tidak eksklusif memberikanku jalan untuk melakukan rencanaku.

“Ini program pihak perempuan, jadi mereka cuma ngundang kerabat wanita aja.”

“Kerabatmu gimana?”

Aku diam, lantaran saya tidak tahu bagaimana menyampaikannya. Sebab dengan keuanganku sekarang, hidang mie goreng kepada tamupun saya tidak mampu.

“Lihat nanti saja lah. Kalau nanti kau hingga ke rumah ku, kau pergi dulu saja.”

Rudy semakin mengencangkan petikan gitarnya. Kini lagu Adele pula, 'Someone like you'. Entah mengapa, lagu yang temanya kecewa saja yang dia mainkan ketika ini.

“Dia bagus gak?” Rudy memandang dengan senyuman penuh berharap.

“Cantik.”

“Gimana bisa kenal dia?” Senyuman Rudy kini semakin tinggi harapannya. Harapan jenis apa saya tidak tahu. Mungkin impian untuk melihat saya bahagia. Walaupun saya merasa mirip Rudy niscaya berpikir tidak logis saya mendapatkan gadis cantik.

“Ayah dan ibuku yang menjodohkan. Aku terima saja.”

“Kau belum pernah ketemu dia?”

“Baru tadi.”

“Memang dia cantik?”

“Memang cantik.”

Rudy kini memperlihatkan wajah orang yang sedang gusar dan berpikir panjang.

“Apa pekerjaannya?”

“Pegawai di Bappenas. Aku tidak tahu jabatannya. Tetapi ibuku bilang, dia punya jabatan cukup tinggi.”

“Hmm... Dia cantik, pekerjaan bagus, tapi kok dia mau kawin denganmu? Heran.”

Aku menelan liur. Nampaknya Rudy juga sudah merasa ada sesuatu yang tidak benar. Dia pandangi wajahku.

Rudy menyambung, “Kau, ganteng juga nggak. Heran-heran.”

Aku tersenyum pahit. Aku akui, saya memang tidak ganteng dan itu pun sesungguhnya merisaukanku juga.

“Kau tidak heran?” tanya Rudy.

“Ya heran juga sih.”

“Kau sudah periksa latar belakang wanita itu?”

Aku pandangi wajah Rudy. Akhirnya peluangku tiba.

“Malam ini kau ikut aku. Temani saya ke rumah calonku itu.”

“Hah? Buat apa?” Rudy memandang heran.

“Dia ajak saya makan malam di sana. Ketemu dengan ayah dan ibunya. Nanti itu, gres akan saya cari tahu latar belakangnya.”

“Kau pergi sajalah sendiri.” Rudy kembali memetik gitar.

“Kamu kayak gak tahu aku. Aku segan. Aku butuh kau temani aku. Kamu kan berani, mungkin kau bantu saya kepo juga.”

“Kepo? Kepoin apa?”

“Tanyain lah hal-hal yang bisa ditanyain. Kamu kan berpengalaman dalam dunia percintaan. Pasti bisa bantu aku.”

Akhirnya, sehabis lama saya bujuk, Rudy pun setuju.

***

Malam itu, walaupun saya sudah salin alamat dari ayahku, tetap saja saya tersesat. Aku hingga selepas Isya, bukannya selepas Maghrib. Aku lihat makanan sudah terhidang di atas meja, dan nampak sudah dingin. Mungkin perut Sarimah dan orang tuanya juga sudah lapar.

“Maafkan saya lantaran terlambat.”

“Gak apa-apa, masuklah,” kata seorang lelaki yang sebaya ayahku. Mungkin dia yakni ayah Sarimah dan calon ayah mertuaku.

“Ooo... Ini dia Salman. Ayahmu bilang kau akan pulang lusa, kok cepat bener baliknya?” tegur seorang perempuan, yang saya yakin yakni ibu Sarimah.

“Ada yang harus diurus dulu di rumah,” balasku dan kemudian berkata, “Kenalkan ini mitra saya Rudy. Ibu dan ayah saya tidak bisa datang.”

Kemudian, Sarimah keluar dari dapur dan dia kelihatan sangat cantik. Tertegun saya dan saya sempat melihat wajah Rudy yang ikut tertegun.

“Beruntung kamu,” bisik Rudy.

Selepas makan, kami duduk di ruang tamu dan pada waktu itulah, saya lirik-lirik Rudy supaya mulai menjalankan rencananya.

“Kata Salman, ini pertama kali dia berjumpa dengan bapak dan ibu ya. Malah dengan Sarimah pun gres tadi ketemu.” kata Rudy, dan saya mulai berdebar-debar.

“Iya, ini pertama kalinya. Sebelumnya, kami lihat wajahnya dalam pass foto yang diberi oleh ibunya.” jawab ayah Sarimah.

Aku semakin berdebar-debar. Ibuku ngasih pass foto? Ah, sudah! Matilah aku!

“Tidak sangka, orang aslinya ganteng juga.” sambung ibu Sarimah.

Aku mulai merasa pipiku panas. Jarang sekali ada orang yang memuji saya tampan. Kalaupun ada, niscaya ada maksudnya. Atau mungkin, ibu Sarimah hanya ingin menjaga perasaanku.

“Itulah saya heran. Karena Salman bilang, orangtuanya yang mengatur. Gak nyangka, zaman kini masih ada ya ijab kabul yang diatur oleh orang tua. Apa rahasianya Pak?” Rudy memang tidak menunggu lama, terus saja dia bertanya sambil ketawa-ketawa kecil. Jadi, walaupun ini duduk kasus serius, tetapi ia nampak mirip bergurau.

“Tidak ada rahasia apa-apa. Emang Salman gak ngasih tahu kamu?”

Rudy memandangiku, kemudian dia pandangi ayah Sarimah dan menggeleng.

Lalu saya bilang, “Sebenarnya saya pun tidak tahu apa-apa.”

“Kamu tidak tanya ayah dan ibumu?”

Pada ketika itulah, saya mulai merasa menyesal. Ya, saya tidak tanya pun kepada ayah dan ibuku mengapa dia menentukan Sarimah. Yang saya tahu, ibuku cuma tanya, “Mau ibu carikan kau jodoh?” Aku pun menjawab, “Boleh.” Tiba-tiba, dua ahad kemudian, saya sudah bertunangan dan dalam satu bulan akan menikah. Itupun tunangan pakai uang ibuku. Memalukan betul.

“Saya tidak tanya.”

Ayah Sarimah mulai ketawa kecil.

“Begini, saya dan ayah kau itu memang sudah lama kenal. Suatu hari, ngobrol-ngobrol di kedai kopi, kami bercerita perihal anak masing-masing, kemudian bercerita perihal jodoh, dan akhirnya, terus kepada rancangan mau menjodohkan anak masing-masing. Setelah itu, inilah yang terjadi,” terang ayah Sarimah.

“Begitu saja Pak? Praktis sekali ya!” Rudy nampak terkejut, dan saya pun sesungguhnya agak terkejut juga. Ya, gampang sekali ternyata.

Ibu dan ayah Sarimah hanya tersenyum lebar.

Ayahnya berkata, “Tidaklah semudah itu. Kami pun mau yang terbaik untuk anak bungsu kami. Kami pun mencari tahu latar belakang Salman.”

“Jadi Bapak tahu Salman ini menganggur dan tidak punya duit?” tanya Rudy, menciptakan saya geram tetapi dalam ketika yang sama merasa sangat malu. Tiba-tiba saya berdoa supaya tubuhku menjadi kecil, supaya saya bisa menyembunyikan bukan saja muka, tetapi seluruh tubuhku di balik bantal.

“Tahu,” jawab ayah Sarimah sambil ketawa kecil lagi.

“Jadi?” Rudy bertanya sambil memutar tangan kanannya. Aku rasa, sesungguhnya Rudy mau bilang, “Jadi, mengapa masih pilih Salman?” Mungkin lantaran tidak hingga hati, dia cuma pakai kode tangan saja. Ya, saya tahu betul lantaran telah lama saya kenal Rudy.

“Itulah yang diberitahu oleh ayahnya. Katanya, anak dia tidak tampan, tidak ada pekerjaan tetap, dan malah, bulan-bulan masih minta duit dari ibunya. Tetapi, dari situlah Bapak tahu, Salman ini akan menjadi suami yang baik.” Ayah Sarimah tidak lagi tersenyum, sebaliknya memandangku dengan wajah serius. Aku terus menunduk malu. Malunya aku. Rupanya mereka sudah tahu jika saya ini masih minta duit selama berbulan-bulan kepada ibuku.

“Jadi?” Rudy sekali lagi menggerak-gerakkan tangannya.

“Ayahnya juga bilang, anaknya sering menelepon kampung, paling tidak dua kali seminggu. Dan, walaupun dia tidak punya pekerjaan tetap, kerjanya pun tidak menentu dengan honor yang kecil, tetapi setiap kali mendapat gaji, ayahnya memberitahu, dia tidak pernah lupa menawarkan sedikit kepada ibunya. Walaupun cuma dua ratus ribu. Jadi, bayangkan walaupun hampir tiap bulan dia kekurangan uang, tapi dia masih mau membantu orang tua. Itulah namanya tanggungjawab!”

Aku tertegun. Aku sesungguhnya tidak menyangka ayahku menceritakan kasus itu juga kepada ayah Sarimah.

“Ooo... Tanggungjawab,” Hanya itu kata Rudy sambil mengangguk-angguk.

Ayah Sarimah menyambung perkataannya, “Tanggungjawab itu, bukan ketika kita kaya saja. Tanggungjawab itu yakni sesuatu yang kita pegang disaat kita susah dan disaat kita senang. Lalu, dalam rumahtangga, tidak selamanya senang. Lebih banyak ketika susahnya. Jadi, Bapak akan lega, lantaran tahu anak Bapak berada dalam tangan pria yang bertanggungjawab.”

“Betul juga ya Pak. Lagi pula, Salman ini setahu saya dia tidak pernah lupa shalat dan tidak punya pacar, lantaran dia takut perempuan, hehe.” tambah Rudy yang menciptakan saya tersipu-sipu. Tidak kusangka Rudy memujiku.

“Shalat itulah kasus utama yang Bapak tanya kepada ayahnya, dan pacar pun Bapak tanya.” Ayah Sarimah kembali tertawa kecil.

“Susah mau cari orang mirip Bapak di zaman ini. Zaman sekarang, semua mau menantu kaya,” tambah Rudy kemudian terlihat wajahnya tiba-tiba murung. Mungkin dia sedang bercerita perihal dirinya sendiri secara tidak sadar.

“Dulu, waktu Bapak menikahi ibu Sarimah, hidup Bapak pun susah. Bapak juga orang susah, cuma bekerja sebagai pembantu pejabat, sedangkan ibu Sarimah itu anak orang kaya di kampung. Alhamdulillah, keluarga istri Bapak termasuk yang terbuka. Lalu, kenapa Bapak tidak memberi peluang kepada orang yang susah, sedangkan Bapak dulu pun diberi peluang. Yang penting, dia susah bukan lantaran dia malas, tetapi lantaran memang belum rezeki. Beda sekali, orang malas dengan orang yang belum ada rezeki. Kalau susah lantaran duduk-duduk di rumah dan tidur berguling-guling, memang Bapak tidak akan terima,” terang ayah Sarimah dengan panjang lebar.

Aku berasa mulai sedikit lega. Tidak kusangka, begitu pikiran ayah dan ibu Sarimah. Perlahan-lahan, perasaan maluku itu mulai berkurang. Perlahan-lahan juga, perasaan curigaku kepada Sarimah ikut berkurang.

“Anak Bapak andal juga. Dia mau nurut kata Bapak. Zaman sekarang, biasanya semuanya sudah punya pacar,” kata Rudy. Aku tahu, Rudy juga sedang memasang umpan untuk mengetahui latar belakang Sarimah sekaligus. Aku kembali berdebar-debar.

“Alhamdulillah. Bapak sangat bersyukur diberi anak mirip Sarimah. Awalnya, Bapak khawatir juga, tetapi sehabis satu minggu, Sarimah bilang setuju. Cuma Bapak tidak tahu apa yang menciptakan diadia setuju, mungkin Salman bisa tanya dia sendiri sehabis menikah nanti,” kata ayah Sarimah, kemudian dia, istrinya dan Rudy tertawa bersama. Tinggal saya dan Sarimah saja yang duduk belakang layar malu. Sempat saya melirik Sarimah, dan bertanya dalam hati, “Mengapa kau mau dengan lelaki mirip aku?'

***

Alhamdulillah. Allah mudahkan perjuangan kami. Aku sudah sah menjadi suami Sarimah, dan sehabis bersalaman dengan Sarimah, rasa gentar dan maluku kepada Sarimah mulai berkurang. Malah saya mulai memanggilnya, 'sayang'. Lalu sehabis resepsi, saya dan Sarimah masuk ke dalam kamar, berdua-duan untuk pertama kalinya.

Dalam hati, masih kuingat pertanyaanku pada malam saya bertemu ayah dan ibu Sarimah. Kini pertanyaan dalam hati itu saya nyatakan dengan lidah, “Sayang, mengapa kau oke untuk menikah dengan pria sepertiku? Laki-laki yang belum tentu masa depannya, dan mungkin juga menciptakan dirimu menderita.”

Tidak kusangka, pertanyaan melalui lidahku menjadi lebih panjang dan detil dari pertanyaan dalam hati.

Sarimah yang ketika itu sedang duduk malu-malu, memandangku kemudian mencium tanganku, dan berkata, “Ampuni Sarimah bang, ampuni Sarimah.”

Aku mulai berdebar-debar dan tidak lezat hati.

“Ampuni apa sayang?”

“Sebab, Sarimah sesungguhnya sempat curiga juga dengan Abang. Sarimah sempat tidak yakin dengan Abang. Malah Sarimah minta tolong mitra Sarimah, yang kebetulan tinggal bersebelahan dengan Abang di kota supaya mencari tahu latar belakang Abang. Malah, Sarimah juga solat iskhtikarah hanya lantaran ragu-ragu kepada Abang.”

Debar jantungku kembali menurun. Rupanya, Sarimah lebih dulu mencari tahu latar belakangku? Malunya aku. Tetapi kini dia sudah jadi istriku, kemudian saya angkat kepalanya dan kupandangi matanya.

“Abang ampunkan. Abang pun minta maaf, alasannya yakni Abang pun pernah juga berasa curiga kepadamu.”

Sarimah tersenyum. Bukan senyum manis biasa, tetapi senyuman seorang wanita yang bahagia, dan senyuman itu sangat asing lantaran ikut menciptakan saya merasa bahagia. Mungkin inilah perasaan senang yang tiba lantaran kita membahagiakan orang lain. Tetapi pertanyaanku tadi masih belum terjawab sepenuhnya.

“Jadi, apa kata kawanmu?” lanjutku ingin tahu. Aku risau, takut kawannya membicarakan yang tidak-tidak.

“Katanya, Abang ini tidak punya pekerjaan tetap. Motorpun pinjam punya teman, tapi katanya dia selalu melihat Abang membaca koran untuk mencari kerja, mengirim surat lamaran, dan selalu menyelidiki kotak surat kalau-kalau ada surat lamaran yang dibalas. Maksudnya, Abang ini orang yang rajin berusaha. Katanya lagi, dia tidak pernah melihat Abang keluar dengan perempuan. Shalat pun niscaya Abang berjamaah.”

Aku mulai tersipu malu. Takut tertangkap berair jika saya tersipu, saya pun bertanya, “Tetapi orang secantik dirimu niscaya banyak orang yang tertarik kan? Pasti banyak yang mau meminang dirimu, dan mungkin niscaya juga yang ada sudah tiba ke rumah untuk meminang.”

Sarimah sekali lagi tersenyum.

“Ya, memang banyak pria yang mencoba akrab dengan Sarimah, tetapi Sarimah sangat takut. Sarimah ingat dengan kakak”

“Mengapa dengan kakak, sayang?” tanyaku segera.

Sarimah pun bercerita panjang lebar, dan saya gres tahu jika kakaknya sudah meninggal. Kakak Sarimah dulu juga seorang wanita cantik, dan banyak pria yang meminangnya. Akhirnya, dia menikah dengan lelaki pilihan hatinya sendiri. Laki-laki yang tampan, berpendidikan tinggi, dan bekerja dengan honor yang lumayan. Sayangnya, sehabis satu tahun menikah, suami kakaknya mulai berubah lantaran belum juga mendapatkan anak. Dia mulai pulang terlambat, dan suka marah-marah.

Bahkan, suaminya hingga di PHK lantaran krisis ekonomi. Hidup mereka menjadi susah, dan suaminya juga semakin banyak berubah. Dia sudah tidak pulang berhari-hari, apabila pulang, hanya untuk meminta uang, marah-marah dan memukul istrinya. Kemudian terungkaplah bahwa selama ini suami kakaknya itu sudah mempunyai wanita lain. Lalu pada hari itu, dengan hati yang kusut, abang Sarimah gagal mengendarai mobilnya hingga kecelakaan dan meninggal dunia. Diakhir ceritanya itu, saya eksklusif menggenggam tangan Sarimah erat-erat.

“Karena itulah, Sarimah takut jika mau mendapatkan pria sembarangan dalam hidup Sarimah. Malahan, Sarimah juga sesungguhnya sudah mengamanahkan ayah dan ibu untuk mencari pria yang sesuai untuk Sarimah. Biar tidak kaya, biar tidak tampan, tetapi lelaki itu bisa membahagiakan hidup dengan kasih sayang dan mendamaikan hati dengan agama.”

Akhirnya, semuanya sudah jelas. Kenapa ayah dan ibu Sarimah menentukan pria sepertiku, dan mengapa Sarimah menerimaku dalam hidupnya. Genggaman tanganku semakin kuat.

“Abang... Tolong jaga Sarimah. Jaga dan mohon jangan lukai hati Sarimah. Mohon bang,” rayu Sarimah dan air matanya pun mulai menggenang, dan kemudian menetes di pipinya yang cantik. Aku segera menyeka air mata Sarimah.

“Abang bukanlah pria terbaik, dan Abang tidak bisa berjanji menjadi suami yang terbaik untukmu. Abang cuma bisa berjanji, Abang berusaha menjadi pria yang terbaik itu, dan berusaha menjadi suami yang terbaik untukmu,” kataku perlahan, dan Sarimah terus memelukku. Aku merasa, bahuku sudah berair dengan air mata Sarimah.

Karya : Bahruddin Bekri
Judul : Dipaksa Menikah dengan Wanita Cantik

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Cerpen Islami Romantis Cinta Dan Ijab Kabul - Dipaksa Menikah Berakhir Bahagia"

Post a Comment